Sunday, February 2, 2014

Sinopsis: SuckSeed [Part 1]

Sebelum memulainya, aku mau ngasih tahu sama kalian kenapa aku menulis sinopsis SuckSeed ini, padahal kan film ini sudah lama sekali rilisnya (tahun 2011)? Aku nggak punya alasan khusus untuk itu. Tapi, satu hal yang kuingat tentang SuckSeed adalah film ini sangat manis. Nuansa romantis khas abege-nya kerasa betul, dan aku benar-benar menikmatinya. Seolah aku kembali lagi ke masa itu. Mudah-mudahan setelah kalian menonton film ini, atau membaca sinopsis yang kutulis, kalian yang sudah melewati masa-masa itu bisa terkenang kembali romantisme ala abege. Sementara bagi kalian yang masih berada di masa-masa itu, aku hanya bisa bilang, “Nikmatilah… dan selamat bersenang-senang dengan masa muda kalian…”

***

Film Thailand ini dimulai saat tiga pemuda datang ke sebuah tempat – sepertinya stadion, entahlah.

“Kalian siap? Mau nggak mau kita harus siap!” pemuda yang berdiri di tengah menukas.

“Oke,” sahut pemuda yang berdiri di sisi kanan pemuda tadi.

“Kau yakin?” pemuda yang di tengah bertanya lagi.

“Ya. Aku sudah siap!” sahutnya bersemangat.

***

Di ruang kelas, satu per satu murid maju untuk mengeluarkan suara mereka di depan kelas. Mereka disuruh menyanyi. Semua murid memperlihatkan kemampuan vokal masing-masing. Dan kini giliran Ped maju.

“… Kau mau nyanyi lagu apa?” tanya guru menyanyi. Ped diam. Tak menyanyi, tak menjawab pertanyaan gurunya. Wajahnya pucat.

“Penakut!” tukas teman Ped mengejeknya. Sontak semua murid tertawa mendengar pernyataan tersebut. Dari arah belakang, bola-bola kertas mendarat di kepala si komentator.

“Siapa?” teriaknya marah, sambil menoleh ke arah belakang. Bocah laki-laki yang memakai jaket merah menjulurkan lidahnya. Bocah inilah yang melempar bola kertas tadi.

“Pilihlah lagu apapun,” seorang gadis kecil berkata – gadis ini bernama Ern. Ped tetap saja kebingungan.

Guru Ped menggebrak meja. Dia mengingat keduanya yang membikin ribut. Ern membisikkan kata-kata kepada Ped, “Lagu apapun.” Karena, Ped tetap bisu, Ern mulai mendikte Ped lirik lagu: “I Need You, I Love You, I Want You.” (jadi ingat lagunya JKT48 yang judulnya ‘Heavy Rotation’ *lupakan*)

“Menyanyilah cepat,” kata guru Ped tidak sabar. Ped yang sedari tadi terdiam mulai menyanyi. Seisi kelas pun meledak tawanya, karena tidak memahami apa yang tengah dinyanyikan oleh Ped. Guru Ped putus asa, “Duduklah. Kita lanjutkan.” Dia kemudian memanggil Ern sebagai giliran berikutnya. Ern tersenyum manis. Ped yang putus asa cuma terdiam, terlebih setelah Kong menyebutnya payah.

Ketika Ern menyanyi, seluruh murid menyimak apa yang dinyanyikan Ern, termasuk Ped. Apa yang Ern nyanyikan adalah kata-kata yang sempat dibisikkannya kepada Ped tadi.

***

“Kunci apa tuh? Kau bisa memainkannya?” Ped bertanya kepada Kong, sahabatnya yang lumayan jago bermain musik.

“Itu lagu populer. Tapi, aku nggak bisa memainkannya,” sahut Kong. Sebuah gitar berada di pangkuannya.

“Masa nggak bisa sih?” Ped bertanya sekali lagi, merasa Kong mengibulinya.

“Aku kan cuma anak-anak,” Kong menjawab, kemudian memetik gitar tanpa kendali alias asal-asalan.

“Terus lagu apa yang bisa kau mainkan”

“Nggak ada.”

“Ayolah, mainkanlah sebuah lagu,” Ped berusaha membujuk Kong.

“Ini nggak semudah yang kau pikirkan. Ini sulit. Belajar gitar itu sulit. Kau mesti rajin berlatih,” tukas Kong. Ped mengangguk-angguk tanda mengerti.

Suara anak kecil meminta Kong untuk pergi dari papan perosotan.

“Menyingkirlah, aku mau main perosotan.”

“Nggak mau. Aku kan lagi duduk di sini!”

“Bukan urusanku. Cepat pergilah.”

Dengan sekuat tenaga, Kong memutar mainan putar sampai mengakibatkan anak kecil yang memintanya pergi dari papan perosotan pening kepalanya. Aksi itu kemudian dihentikan oleh sebuah tangan.

“Berani sekali kau,” ucap Kong saat melihat seorang anak yang mukanya mirip betul dengannya.

“Jangan mengganggu lagi,” Key berkata dengan santai. Key adalah kembaran Kong. Keduanya memiliki sifat seratus delapan puluh derajat berbeda. Kong orang yang lantang mengatakan apa yang ada di dalam benaknya, sedangkan Key lebih kalem.

Kong kemudian mengajak Ped menyingkir dari situ. “Yuk pergi.”

***

Ped menghampiri Ern yang tengah sibuk menulis. Ped sudah berulang kali memanggil-manggil Ern, tapi Ern tidak menghiraukan sama sekali. Ketika Ped hendak memegang pundak Ern, dengan mendadak Ern berbalik. Keduanya terkejut.

“Ada apa?” Ern bertanya sambil melepaskan earphone dari lubang telinganya. Ini rupanya yang menyebabkan Ern tidak menghiraukan panggilan Ped.

“Tidak. Aku cuma mau menyapamu,” sahut Ped.

Ped dan Ern pulang dari sekolah bersama-sama. Ped bertanya kepada Ern, “Kau sudah makan? Gimana kalo kita pergi saja? Kau mau kan?”

Ern mengangguk-angguk. “Kebetulan, aku lagi nggak ada kerjaan.” Kemudian, Ern berbisik di telinga Ped, “Aku lebih suka pergi daripada nggak ngapa-ngapain.”

“Aku juga. Berarti kita samaan dong. Kita sama-sama tipe orang yang nggak tahan berdiam diri,” Ped mengatakan itu dengan senang. Ern kemudian berjalan lebih dulu.

“Apa cita-citamu?” tanya Ped saat dirinya berhasil menyusul Ern.

“Belum tahu. Aku akan memikirkannya. Nanti kalo sudah dapat akan kuberitahu dirimu.” Ern lantas merogoh tasnya dan mengambil sesuatu. “Coba dengerin.” Ern meletakkan sebelah earphone ke telinga Ped sementara sebelahnya lagi tetap berada di telinganya.

Ped senyam-senyum sendirian. Dia berimajinasi sekelilingnya hening – seolah-olah di tempat itu cuma ada mereka. Ped sepertinya hanyut dalam suasana.

“Jangan seperti itu,” ucap Ern. Tiba-tiba dia menarik earphonenya dari telinga Ped. Ped diam saja.

Ern mendengar namanya dipanggil. Yang memanggilnya adalah guru Ern dan Ped. “Ern, nenekmu sudah datang.” Seorang wanita tua terlihat menanti kehadiran Ern.

Sebelum meninggalkan Ped, Ern sempat memberikan sebuah kaset kepada Ped. Dia meminta Ped mendengarnya.

“Ern, kapan kita bisa main bareng?”

“Nanti kukabari deh.” Ern pun naik ke mobil.

Ped memandangi mobil Ern yang pelan-pelan mulai menjauh. Ped tidak sadar jika pertemuan tersebut merupakan pertemuan terakhirnya bersama Ern saat itu.

***

Ped membaringkan tubuhnya di ranjang. Tatapannya kosong melompong. Kaset yang Ern kasih sedang disetelnya. Seorang pria berdiri di depan pintu, lalu pindah di ujung tempat tidur Ped dan sekarang ada di samping Ped (salah satu keunikan film Thailand terbaik ini adalah tiap kali diperdengarkan ost.

Seorang wanita paruh baya kemudian masuk dan mematikan tape tersebut. Rupanya itu adalah ibu Ped.  “Kamu kok nggak ganti baju sama buka sepatu. Lihat, kamarmu jadi kotor kan? Cepat sana ganti baju,” kata Ibu Ped marah-marah. Ped terbangun dan memandangi tempat kaset yang dikasih oleh Ern.

Ped kemudian pergi ke rumah sahabatnya Kong dengan mengendarai sepeda.

“Ada apa?” tanya Ped pada Kong yang saat itu sedang memegang gitar.

“Kesal!” sahut Kong. Dia berbalik untuk melihat Key yang tengah suntuk main PS. “Kenapa kau mencariku?”

“Aku cuma mau meminjam gitarmu,” Ped berkata patah-patah.

“Ini, ambillah. Aku akan menemaninya.” Kong menyerahkan gitarnya pada Ped. Key yang mendengar hal tersebut membalikkan badannya dan melihat Kong dengan wajah lebam-lebam.

Ped menguatkan diri jika dia pasti bisa melakukannya. Berbekal sebuah buku berisi kunci dan gitar hasil meminjam Kong, Ped menyanyikan lagu yang diajarkan Ern. Dan… merekamnya. Setelah selesai, Ped segera mengayuh sepedanya dengan kecepatan penuh. Di kepalanya cuma ada satu keinginan: bertemu Ern dan menyerahkan rekaman suaranya kepada Ern. Jalan dan jembatan yang gelap tak membuat nyali Ped ciut. Tapi, hal itu seolah sia-sia sewaktu Ped menemukan rumah Ern dalam keadaan tutupan.

Tiba-tiba Ped punya ide untuk memakai telepon umum yang ada di pinggir jalan. Ped kemudian menghubungi rumah Ern, setelah mendapatkan nomor telepon yang tertera di pintu rumah Ern. Ketika, telepon tidak diangkat-angkat, Ped sempat putus asa. Namun, begitu lampu di rumah Ern menyala Ped senyum pengharapan terukir di bibirnya. Beberapa saat berikutnya, dia mendengar suara seorang pria dari balik telepon.

“Halo…” kata suara tersebut.

“Halo… Ern ada?” Ped bertanya terbata-bata. Napas terdengar kembang kempis.

“Ini kan sudah malam. Besok dia harus ke sekolah. Jangan mengganggunya… Mengerti?!” Suara pria tersebut terdengar marah.

“Ya, mengerti…”

“Terus mengapa kau menghubunginya selarut ini. Kau nggak tahu waktu ya?” Telepon pun langsung ditutup. Lampu di rumah Ern pun dimatikan lagi. Ped menghembuskan napasnya sambil memandangi kaset rekaman yang berada di tangannya dengan masgul.

***



Keesokan harinya...

Dengan tergopoh-gopoh, Ped menuju kelasnya. Jam pelajaran sudah dimulai sejak tadi. Saat ini adalah jam pelajaran bernyanyi. Seorang siswa berhasil menyanyikan sebuah lagu, lalu kembali ke tempat duduknya diiringi riuh tepuk tangan teman-temannya.

Kemudian sang guru memanggil, “Hun To Pai.”

“Aku akan nyanyikan sebuah lagu terkenal,” ucap Hun To Pai. Seisi kelas saling pandang dan berbisik.

Seisi kelas mengikuti apa yang dinyanyikan Hun To Pai. Suara mereka seolah-olah ditujukan pada Ern, yang duduk di bangku paling depan. Ped tertunduk mendengarnya, sementara Kong berusaha menepis pertanyaan teman-temannya dengan mengatakan,Aku nggak tahu. Aku nggak melakukannya.

Ern berdiri dan pergi ke bangku Kong dan Ped. “Nggak nyangka kau akan melakukan hal ini padaku,” Ern berucap dengan air mata yang pecah. Setelah mengucapkan itu, dia bergegas keluar kelas.

Kong berusaha menepis saat teman-temannya menatap, “Aku nggak ada hubungannya dengan semua ini.”

Ped diam saja dan terus memegangi kantongnya yang berisi kaset rekaman. Bahkan saat mengantarnya ke bandara, Ped hanya bisa memandangi Ern yang melambaikan tangan kepadanya dan teman-teman. Perasaan bersalah muncul dari kalbu Ped: mengapa tak memberikan kaset rekaman kepada Ern selagi sempat?

“Dia pergi,” guma Kong menatap pesawat terbang yang mengangkasa, “Nggak tahu kapan dia kembali. Ayo kita pergi,” Kong mengajak Ped.

Ped belum beranjak. Dia masih memandangi pesawat yang ditumpangi Ern pelan-pelan tak terlihat tertutupi awan.

“Ayo!” Kong mengajak lagi, kemudian mengayuh sepedanya.

“Kong, tunggu aku. Jangan tinggalkan aku,” teriak Ped.

***


Baca Sinopsis SuckSeed [Part 2]

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Sinopsis: SuckSeed [Part 1]

0 komentar:

Post a Comment